Bekasi – Sejumlah warga di perumahan Cluster Citaville Pilar Cikarang yang beralamat di Jalan Ki Hajar Dewantara, Desa Sukaraya, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi keluhkan besaran Iuaran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) yang mahal namun tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan warga.
Jefri Septian (27) salah satu warga yang tinggal di blok C1 menuturkan, untuk IPL sendiri meliputi biaya pengelolaan sampah, keamanan, serta perawatan fasilitas jalan dan taman itu baru-baru ini naik sepihak sebesar Rp 250 ribu dari yang sebelum sesuai kesepakatan warga yakni Rp 200 ribu perbulan.
“Sebenernya untuk kesepakatan itu kita diangka 200 ribu sebenernya, kita udah sepakat, meskipun ada perdebatan panjang di sana tapi kita sepakat di 200 ribu,” kata Jefri kepada wartawan. Senin (11/8/2025).
Namun, kata Jefri beberapa bulan terakhir pihak developer menaikan besaran iuran secara sepihak, sehingga membebani warga dan tidak seimbang dengan pelayanan yang didapatkan oleh warga di perumahan berjenis cluster tersebut.
Bahkan, saat ini untuk pengelolaan sampah yang sebelumnya dikerjakan oleh warga lingkungan dekat cluster sekarang ini sudah beralih pengelolaannya oleh UPTD Kebersihan Pemkab Bekasi yang seharusnya lebih murah biayanya.
“Pas di situ posisinya malah naik 50 ribu. Kita juga nggak sepakat warga, warga nggak sepakat sama sekali. Bahkan warga mintanya itu kalau bisa bayar IPL yang lama aja,” ungkapnya.
Yang parahnya lagi kata Jefri, dirinya sempat memutuskan untuk berhenti membayar IPL untuk kebersihan, keamanan, dan perawatan taman itu lantaran mendapatkan beban tambahan biaya lantaran dianggap sampah yang dihasilkan di rumahnya cukup banyak.
Sehingga dirinya harus membayar sebesar Rp 25 ribu untuk sekali pengangkatan sampah, dan itu diluar IPL sebesar Rp 200 ribu. Dari keluhan tersebut, Jefri berkomunikasi dengan pihak developer untuk tidak lagi menggunakan layanan angkutan sampah dan membayar langsung biaya angkutan sampah ke petugas tanpa melalui IPL yang dikelola developer selama dua tahun terakhir.
“Iya, karena keberatan, akhirnya saya ambil keputusan, yaudah saya bayar orang aja buat ngangkutin sampah saya aja. Jadi saya nggak ikuti IPL sama sekali karena saya nggak pakai fasilitas dia, udah berjalan setahun, lebih dari setahun, segala macem akhirnya ditegurlah tukang angkut sampahnya dikasih SP1 gak bileh angkut sampah saya lagi,” ujarnya.
Tak lama pihak developer pun memberitahukan tagihan IPL kepada Jefri selama dua tahun yakni sebesar Rp 4.800.000. Namun setelah mediasi, Jefri diminta untuk membayar hanya dua bulan terakhir saja dan kedepannya membayar normal kembali dan itu pun disepakati olehnya dan pihak developer.
“Pada saat itu, deal-dealan saya disuruh, yaudah yang sebelumnya nggak usah dibayar. Tapi saya harus bayar 2 bulan dulu, bulan kemarin dan bulan sekarang. Oke, saya deal-in, saya bayar,” ucapnya.
“Harusnya kan saya setelah itu normal lagi setiap bulan ingin bayar. Cuman dari pihak manajemennya, telpon saya, katanya saya bilang salah paham. Jadi dia tetap minta dibayar yang sebelum-sebelumnya,” imbuhnya.
Dengan biaya IPL sebesar Rp 250 ribu perbulan saat ini, kata Jefri termasuk dalam kategori mahal dan tidak sesuai dengan layanan yang didapatkan olehnya. Kekecewaannya itu pernah dialami oleh dirinya, yakni kehilangan perhiasan didalam rumahnya lantaran belum adanya fasilitas keamanan seperti kamera CCTV dan Pos penjagaan saat itu.
Belum lagi, kualitas bangunan rumah banyak mengalami kerusakan salah satunya pada bagian plafon yang ambruk akibat dari rembesan pipa air yang bocor. Bahkan, tetangga rumahnya pun mengalami insiden kurang mengenakan yakni salah satu anggot keluarganya tertimpa plafon tersebut hingga mengalami luka-luka.
“Udah ada korban begitu ya harusnya dia bertanggung jawab, ini kerusakan pun ditangung setengah oleh pemilik rumah juga,” tuturnya.
“Ya nggak wajar lah bang, karena posisinya kan kita sebenarnya, seperti saya sendiri ya, pengen ngambil di klaster itu kan supaya nggak merasakan hal-hal yang seperti ini sebenarnya, karena kan kita juga bayar itu nggak sedikit,” pungkas Jefri.